tersangka utama penyebab lahirnya gue ke dunia ini. |
Terlalu sering dihajar pertanyaan semacam itu, membuat gue memutuskan bahwa gue adalah orang "Sun-Tai", yaitu Sunda dan Kutai yang gue gabung, apalagi dalam bahasa Inggris kedengerannya kan keren gitu, dibacanya "Santhay" yang sangat mirip dengan "santai", jadinya ya memberikan kesan gue orang yang santai dan woles, hahahahahahaha~ oke sip, maksa banget. Intinya gue adalah kedua-duanya, orang Sunda yang Kutai, orang Kutai yang Sunda.
Tapi keputusan itu kembali menjadi dilema ketika ditanya "Kalo lebaran terus pulang kampung atau mudik ke mana?". Nah, bagi beberapa orang, pulang kampung alias mudik adalah suatu hal yang menjelaskan dan menegaskan asal-usulnya, dan bagi beberapa orang lainnya, khususnya generasi orangtua kita dan di atasnya, hal tersebut juga menjadi semacam "hal krusial" agar kita tidak melupakan "rumah" sendiri.
Beruntung, sebagai anak yang lahir di Jakarta, yang ngga perlu jauh-jauh kalo mau berkunjung ke kota kelahiran (yaiyalah, ngesot juga nyampe..), bokap gue mengajak gue dalam beberapa kesempatan menuju Tasikmalaya, kota kelahirannya. Setelah beberapa kali ke sana, darah Sunda yang ada di dalam tubuh gue seperti beresonansi. Ya, pertanda bahwa gue adalah separuh Pasundan, di mana angin sejuk dari pegunungan mengalir di setiap relung kosong. Nah.. separuhnya lagi? gimana? masih ada separuh bagian lagi dalam diri gue yang masih dalam kondisi statis. Separuh dari diri gue yang berasal dari pesisir timur Kalimantan. Gue belum pernah menginjakkan kaki di tanah kelahiran nyokap gue. Gue belum utuh.
Kemudian di bulan puasa, gue mendapatkan tawaran dari om gue yang bekerja di bidang komunikasi untuk ngebantuin dia bikin video promosi Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Timur. Yups, Kalimantan Timur. Mendengar itu, tanpa pikir panjang gue langsung menerima tawarannya, dan setelah 22 tahun gue hidup, akhirnya gue mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Kalimantan.. bukan, tapi "pulang" ke Kalimantan.
29 Juli 2012
GUE udah duduk manis di pesawat, siap untuk berangkat dengan maskapai Lion Air bersama Om dan Tante gue, serta dua orang crewnya, kang Iwan dan kang Uwi. Selama perjalanan sih ngga ada yang menarik, yah.. pramugarinya sih menarik, sangat menarik malah, hehehehe.. jadi ya gue duduk dengan anteng aja sambil curi-curi pandang ngeliatin pramugarinya. Sekitar 2 jam kemudian, gue melongok ke arah jendela pesawat yang kecil, dari situ, gue ngeliat sebuah struktur yang panjang dan berkelok-kelok dikelilingi pepohonan yang sangat rapat, persis sungai Amazon. Ya, itu memang sungai, tapi bukan sungai Amazon, itu adalah sungai Kapuas, dan gue udah berada di atas pulau Kalimantan, dalam hati gue berteriak girang, karena sebentar lagi gue tiba di kampung halaman nyokap.
Ngga lama kemudian, lampu tanda untuk mengenakan seatbelt sudah menyala, pesawat akan segera landing, dan dari jendela gue bisa melihat tulisan besar "Bandar Udara Internasional Sepinggan", jantung gue semakin berdebar. Roda pesawat bergesekan dengan runway dengan bunyi decit halus, gue udah bisa melihat perbukitan yang ditutupi hutan tropis, bersamaan dengan itu, seolah terdengar iringan musik Sape' di telinga gue, menyambut gue, dan berkata "Welcome home, son.."
Sungai Kapuas dilihat dari jendela pesawat |
PANAS! Itulah yang pertama kali gue rasakan ketika keluar dari pesawat. Pastinya udah pada tau kalo pulau Kalimantan itu adalah jalur dari Garis Khatulistiwa yang notabene adalah jalurnya matahari, dan suhunya bisa 2 kali lipatnya Jakarta pas kemarau! Gue berjalan ngelintasin runway sambil dihajar panasnya matahari tepat di atas kepala gue, gue sempet mikir, kalo gue ngelepas sepatu dan nyobain nyeker jalan di runway, pasti bakalan terdengar suara "CESSSSSSSSS", terus ada asep, bau gosong, dan gue jerit-jerit. Nah, tibalah akhirnya gue di Balikpapan, kota tempat nyokap gue lahir dan dibesarkan. Sayangnya hari itu gue ngga lama berada di sana, karena pada saat itu juga, gue harus segera langsung menuju Samarinda, ibukota propinsi Kalimantan Timur, di mana gue akan menghabiskan sebagian besar waktu gue selama di Kalimantan.
Om gue segera melajukan mobil Avanza yang dipinjam dari temannya yang memang selalu siaga menyiapkan mobil ketika om gue ada di sana. Mobil segera melesat melintasi jalan poros Balikpapan - Samarinda, dan pemandangannya luar biasa! Jalur poros ini memang melintasi hutan tropis khas Kalimantan yang vegetasinya rapat dan padat, pepohonannya membentuk kanopi, membuat kita seolah-olah melewati sebuah terowongan yang tinggi dan panjang. Alamnya yang masih liar memberikan nuansa tersendiri, bahkan kalau beruntung, kita bisa melihat burung Enggang atau Rangkong mejeng dengan pedenya di pinggir jalan, atau terbang melintasi atap mobil dengan sayapnya yang mengembang dengan gagah. Dan gue termasuk orang yang beruntung yang dapat menikmati pemandangan tersebut.
Masih di jalan yang sama, om gue berhenti di sebuah rest area, untuk beli makanan buat buka puasa nanti, nah, ini menarik nih.. tau ngga, di rest area itu, yang dijual apaan? TAHU SUMEDANG! yes baby, ada dua tempat makan di rest area itu dan semuanya jual tahu Sumedang. Jauh-jauh ke Kalimantan ketemunya tahu Sumedang lagi.. dan serunya lagi, yang jualan semua orang Sunda! buhehehehehehe~ dalam kondisi kayak gitu, Jalur poros Balikpapan-Samarinda jadi berasa jalur di Puncak, cuma kurang jagung bakarnya aja~
Tapi ngga cuma tahu Sumedang aja, gorengan lain jelas ada, dan ada satu yang menarik perhatian gue, nanas goreng! Nah, ini baru nih buat gue.. tadinya sih ragu, tapi gue coba, mantap! manis-manis asem gitu, nah, kalo lo pada kebetulan ke sini, ini wajib hukumnya buat dicoba!
Jalur Poros Balikpapan - Samarinda |
Rumah makan tahu Sumedang dengan latar hutan rimba. |
Gue kembali melanjutkan perjalanan menuju Samarinda sambil menikmati lebatnya hutan tropis yang penuh pesona. Dan begitu memasuki daerah Samboja, muka gue langsung berubah, kecewa, karena yang gue liat bukan lagi hutan yang hijau, tapi tambang batubara, kan ngeselin banget, lagi seru-serunya ngeliat keajaiban alam, eh malah antiklimaks dengan ngeliat ekskavator yang lagi ngeruk. Beberapa area hutan dibakar atau ditebang untuk ngebuka lahan, hal tersebut membuat area itu jadi gersang, dan sama sekali ngga ada bagus-bagusnya.
Yah, kemudian gue mencoba menikmati aja perjalanan yang berkelok-kelok itu, dengan intensitas hutan yang sudah mulai berkurang, pertanda gue udah dekat dengan tujuan. Beberapa lama kemudian, tepat di depan, gue ngeliat sesuatu yang berkilau keemasan. Apa itu? emas tumpah? oh, bukan.. ternyata itu adalah Sungai Mahakam yang memantulkan cahaya matahari. Luar biasa sodara-sodara.. gue cuma bisa bengong ngeliat pemandangan seperti itu, sampai lupa untuk mengabadikannya lewat kamera, padahal jelas-jelas kameranya gue pegang.. Kata om gue, kalau kita minum air dari Mahakam, kita pasti akan kembali ke Samarinda, tau deh bener apa ngga, yang jelas, mau gue minum atau ngga, gue pasti kembali ke sana!
Nah.. Samarinda adalah ibukota dari kalimantan Timur, di mana kegiatan pemerintah daerah Kaltim terpusat. Setiap harinya, gue ngeliat kapal tongkang dan kapal pengangkut batu bara. Rupanya Mahakam menjadi salah satu jalur transportasi utama untuk pengangkutan hasil tambang tersebut. Tata kotanya sih cukup rapi, dengan banyak jalan-jalan kecil yang saling terhubung, tapi ada kelemahannya.. yaitu.. kotor.. yups, gue masih banyak melihat sampah bertebaran di mana-mana.. terutama di wilayah dekat pelabuhan. Jadi suasana pada saat itu adalah panas menyengat, agak kering, debu beterbangan terutama dari truk-truk yang melewati jalan sepanjang Mahakam, dan banyak sampah, semoga aja untuk tahun-tahun ke depannya Samarinda bener-bener bersih dari sampah.
Anyway, selama 4 hari gue di Samarinda, yang gue lakukan adalah syuting, seperti yang gue bilang tadi, gue ngebantu om gue untuk membuat video Balai Lingkungan Hidup Kalimantan Timur. Dan selama 4 hari itu gue terus bolak-balik mengunjungi instansi terkait, seperti Pemda Kaltim, Laboratorium untuk pengecekan kualitas dan mutu air Mahakam, dan berinteraksi dengan banyak orang di instansi tersebut, bahkan bertemu langsung dengan Gubernur Kaltim pada saat itu, Drs. H. Awang Faroek Ishak, M.M, M.Si. yang kebetulan emang masih sodara jauh sama gue.. Ada kejadian lucu yang sempet bikin gue tengsin. Jadi kan ceritanya bapak Gubernur berulang tahun, om gue beserta krunya diundang.. nah, datanglah kita ke acara tersebut. Gue yang ngga punya bayangan sama sekali mengenai acaranya dengan woles mengenakan "seragam" kebesaran gue, yaitu seragam tentara Korea Selatan, bandana batik, kalung-kalung dari tulang dan gigi babi hutan, sederet gelang, dan cincin batu, serta celana tiga perempat dan sepatu semi boots, udah kayak pawang buaya. Dengan tololnya gue lupa kalo saat itu kan bulan puasa, dan acaranya menjelang maghrib, jadi jelaslah apa yang diadakan sang Gubernur untuk syukuran ulang tahnunnya.. yaitu.. pengajian.. pengajian yang dihadiri oleh ribuan orang.. dan gue dengan entengnya masuk ke dalam area tersebut sambil nenteng-nenteng kamera, seketika semua mata tertuju pada gue, dan.. sudahlah.. tak perlu gue ceritakan apa yang terjadi kemudian.. tengsin cuy!!
pawang buaya nyasar |
Terlepas dari ketololan gue yang satu itu, gue menemukan hal-hal menarik selama di Samarinda, seperti bangun subuh-subuh dan standby di rooftop hotel buat ngejar sunrise untuk keperluan syuting, terus pengambilan gambar di Mahakam, motret di kelenteng yang menurut gue bagus banget, dan tentu saja.. ehm.. gadis-gadis setempat :p hahahahahaha oh come on.. itu hal yang wajar kan? tertarik dengan gadis setempat~ jadi para gadis itu adalah mahasiswi dari Universitas Mulawarman yang sedang melakukan kuliah kerja nyata atau KKN sebagai syarat untuk mengambil tugas akhir atau skripsi mereka, nah mereka inilah yang menghilangkan kebosanan gue dan memberikan angin segar di sela-sela syuting di Balai Lingkungan Hidup tempat mereka magang. Engga cuma di sana, di kantor Gubernur pun gue kembali menemukan gadis-gadis manis yang ternyata adalah asisten pribadi dari Gubernur, yang masing-masing sudah memiliki jobdesk tersendiri, kalo ngga salah ada 5 orang deh, dan semuanya cantik-cantik! Ngga cuma cantik, pastinya pinter juga, karena ngga mudah lho jadi asisten pribadi Gubernur.
mahasiswi magang~ prikitiw~~ |
Kang Iwan dan Kang Uwie |
Proses pengecekan mutu air di Laboratorium |
syuting di Laboratorium |
SETELAH serangkaian syuting di Samarinda selesai, lokasi pun berpindah ke Balikpapan, yes! Balikpapan, kota di mana nyokap gue berasal, kota di mana semuanya berasal, sebuah sacred place buat keluarga gue. Balikpapan terletak di pesisir pantai, dan kondisinya jauh berbeda dibanding dengan Samarinda, tidak ada sampah sama sekali! beneran deh, sama sekali tidak ada sampah yang bertebaran! nilai plus untuk kota Balikpapan! tapi tetep ya.. panasnya menyengat sekali.. 2 hari jalan-jalan aja kulit gue jadi eksotis begini~
Sampai di sana, gue segera mencari lokasi berikutnya, dan diputuskan tempat itu adalah pantai Kemala, sebuah pantai landai yang cukup luas dengan deretan pohon kelapa yang lumayan bikin adem, walaupun belum bisa mengalahkan hantaman sinar matahari. Syuting berjalan lancar, kondisi pantai yang sangat sepi (yaiyalah, puasa-puasa tengah hari bolong main ke pantai.. yang bener aja..) pada waktu itu menambah kelancaran syuting dan kita mendapatakan adegan yang diinginkan.. nah, pas lagi beres-beres, gue diberikan kesempatan yang untuk melihat pemandangan langka, yaitu elang laut sedang berburu dalam jarak dekat! saking dekatnya gue bisa mendengar pekikannya yang khas dengan sangat jelas. kamera yang tadinya mau diberesin jadi kita bongkar lagi dan buru-buru ngerekam serta memotret pemandangan langka itu, sayang gue ngga make lensa tele, jadinya cuma dapet sedikit.
penampakan si burung elang |
nguli di pantai Kemala |
Setelah itu, om gue mengajak gue ke tempat di mana dulu nyokap gue lahir, sebuah rumah di komplek Pertamina di gunung Dubs. Rumah tersebut menjadi tempat tinggal kakek nenek gue beserta 12 anaknya, yang mana adalah om dan tante serta nyokap gue sendiri. Nyokap gue menghabiskan sekitar 18 tahun hidupnya di rumah tersebut sebelum merantau ke Bandung untuk kuliah.
Kata om gue, bentuk rumahnya ngga banyak berubah, cuma nambah pager doang, yak, inilah tujuan utama gue menyeberangi laut Jawa, untuk menginjakkan kaki di tempat semuanya berasal. Sedikit banyak terbayang gimana dulu waktu nyokap gue kecil lari-larian di halamannya, ribut-ribut gara-gara om gue dulu maenan obat nyamuk sampe bikin lemari kayu jati punya kakek gue kebakar di dalem kamar, dan cerita-cerita lainnya.
rumah bersejarah |
Rencananya, om gue beserta krunya akan melanjutkan syuting di daerah Bulungan, bukan, bukan Bulungan yang deket Blok M situ, tapi Bulungan beneran di Kalimantan.
note: nama jalan di daerah Blok M yang kalian kenal, seperti Bulungan, Barito, Mahakam, Melawai dan semacamnya, diambil dari nama daerah di Kalimantan. Bulungan adalah sebuah nama Kabupaten, Barito dan Mahakam adalah nama sungai besar, dan Melawai adalah nama pantai di Balikpapan.
Karena gue cuma punya waktu seminggu di Kalimantan, jadi gue ngga ikut om gue ke Bulungan, dan tetep tinggal di Balikpapan, nginep di rumah sodara gue untuk menghabiskan 2 hari terakhir gue di sana. Gue nginep di rumah om dan tante gue, kedua anak mereka yang juga sepupu gue, yaitu Bang Aldi dan Feby, tinggal di rumahnya di Bogor. Bang Aldi kerja di Trans Tv bagian IT, dan Feby masih kuliah di Atmajaya, kebetulan si Feby lagi liburan, jadinya dia pas ada di Balikpapan dan bisa nemenin gue jalan-jalan selama di sana.
Selama di sana, gue diajak ke pasar Kebun Sayur. Walaupun namanya Kebun Sayur, pasar ini sama sekali engga jual sayur, melainkan berbagai macam suvenir khas Kalimantan dan bermacam aksesoris. Banyak benda-benda menarik yang gue temukan di sana, mulai dari manik-manik Dayak, bermacam gelang-gelangan, kalung dari tulang hiu dan kayu setigi, panah, tombak, sampai senjata khas Kalimantan yaitu Mandau. Ada juga yang ajaib dan mistis, seperti minyak bulus, gigi harimau, kuku beruang, taring babi hutan, bahkan duri landak. Nah ini menarik nih.. gue ditawarin duri landak yang panjangnya sepanjang telapak tangan dan setebal kelingking gue, gue tanya sama si Feby, "ini fungsinya apaan? senjata? buat ditembakin kayak sumpit gitu?", kata si feby, "Bukan, ini kalo ditaro di dompet ato di kantong, bisa ngindarin kita dari bahaya atau jimat buat rejeki lancar.."
Nah, ini dia yang bikin gue bingung, dari segi ukuran, itu duri landak jelas ngga bakalan masuk dompet, mau ditaro di kantong apalagi, itu tajem lho, bisa nusuk yang "aneh-aneh" kalo dipaksa masuk kantong mah, jadinya bukan ngindarin bahaya malah bikin bahaya, ya kan? Ya tapi bodo amatlah, gue ngga beli juga, jadi buat apa dipusingkan..
Di antara kios-kios yang bertebaran, perhatian gue tertuju pada sebuah kios yang terletak di pojokan. Dari arah kios tersebut tercium aroma cendana dan wewangian lain, gue penasaran dan menghampiri kios tersebut. Di kios itu, suasanya sama sekali berbeda dari kios lain, lokasinya yang mojok dan terletak di antara kios-kios kosong di area yang sepi membuat kios itu jadi kayak.. yah, kalo di pilem-pilem mah kayak toko buku tua yang pemiliknya dari dimensi lain gitu, semacam toko barang antik yang di film The Sorcerer's Apprentice deh..
Gue semakin terperangah ketika melihat apa yang dijual di kios tersebut. Ada bermacam topeng, mulai dari topeng Hudoq sampai topeng Bali, pisau emas, gelang perak, akar bahar, kalung manik-manik yang umurnya setengah abad, dan senapan jenis musket dan flintlock yang biasa dipake tentara Eropa jaman dulu. Juga ada taring harimau, kuku beruang, dan taring babi hutan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang, dan umurnya JAUH lebih tua daripada yang dijual di kios-kios depan. Lalu ada relik-relik kuno yang umurnya lebih tua daripada kakek gue, well, hampir semua barang yang dijual di situ umurnya sudah tua, bener-bener barang antik dan kuno. Gue hampir yakin kalo ini adalah toko barang antik yang kayak di film-film itu, dengan penjualnya seorang kakek tua yang misterius..
Tapi ternyata bukan, yang gue liat adalah seorang ibu-ibu gemuk dengan wajah ramah yang mempersilakan gue liat-liat isi kiosnya, dan di dalam, gue menemukan yang lebih ajaib lagi. Tadi gue bilang dia jual kuku beruang kan? nah, ternyata.. ada tengkoraknya di sini.. tengkorak beruang, kucing hutan, musang, anjing, sampai kepala rangkong yang masih utuh. Gue makin heran, buat apa benda-benda kayak gini dijual coba? yah, mungkin untuk barang-barang lain yang beli emang kolektor barang antik, tapi.. segala macem tengkorak ini buat apa coba?? Terlebih lagi, dari manakah si ibu ini mendapatkan benda-benda ini?
Dan akhirnya mata gue tertuju kepada sebuah benda yang menjadi idaman gue, yaitu Sape'. Sape' adalah alat musik dayak yang memiliki 4 senar dan dimainkan dengan cara dipetik, suara yang dihasilkan sangat lembut. ada berbagai macam bentuk Sape', dan seperti yang gue duga, Sape' yang dijual umurnya juga udah cukup tua, sehingga.. harganya tak terjangkau buat gue saat itu.. sebenernya cukup sih duit gue buat beli itu, tapi setelah itu ya duit gue cuma bakalan sisa ceban doang..
Musik Sape'
Akhirnya gue urungkan niat gue untuk beli alat musik itu, dan berjanji ketika gue kembali ke sana, barulah alat musik itu akan gue miliki. Setelah menghabiskan beberapa lama berkeliling pasar dan membeli oleh-oleh untuk teman-teman, gue dan Feby memutuskan untuk pulang. Di jalan pulang, gue baru inget ada satu tempat yang belum gue kunjungi, yaitu Pulau Tukung. Jadilah gue minta sama Feby buat dianterin ke sana.
Pulau Tukung adalah Tanah Lot-nya Balikpapan, dengan posisi pulau di tengah laut, yang kalo airnya surut kita bisa jalan ke pulau tersebut, bedanya kalo di Tanah Lot di tengah pulau ada pura, di Pulau Tukung ngga ada apa-apa, cuma pulau kecil kosong yang penuh karang. Karena panas yang menyengat, Feby memilih buat nunggu di mobil, sementara gue dengan gembira menuju pulau tersebut, ngga peduli dengan panasnya cuaca saat itu, kapan lagi gue ke sini coba? Kira-kira 300 meter dari Pulau Tukung, ada pulau yang serupa, namanya Pulau Babi, pulau kosong juga, dan ngga ada babinya. Bedanya, meskipun laut sedang surut, Pulau Babi akan tetap terendam, karena tidak ada sedimentasi dan jauh dari pesisir. Dan Pulau babi memang letaknya tepat di samping Pelabuhan Semayang Balikpapan.
Dengan santai gue berjalan menyebrangi pesisir yang sedang surut ke Pulau Tukung, sampai di sana, ternyata kita harus memanjat batu karang segede kapalnya Gaban, bukan Gabannya lagi, untuk bisa mencapai tengah pulau, di tengah pulau ada sekumpulan vegetasi dan pohon besar. Konon katanya, Pulau Tukung dan Pulau Babi dulunya itu nyambung, tapi karena suatu hal jadi terpisah, dan ada beberapa cerita misteri yang meliputi kedua pulau tersebut. Gue coba buat manjat, tapi ternyata cuma berhasil sampai lapis kedua, soalnya karangnya cukup terjal dan agak tajam, yah, gue harus puas dengan tempat gue berada. Gue mulai poto-poto pemandangan sekitar, emang sih ngga kayak Tanah Lot, tapi cukup oke buat gue, ombaknya juga ngga besar.
Dari arah pelabuhan, nampak rombongan kapal tanker berlalu dengan santai, jaraknya cukup dekat dari pesisir. Sejenak gue terbuai dengan hembusan angin laut di tengah teriknya matahari. Gue duduk di sebuah karang menghadap laut, menikmati angin yang berhembus santai dan memperhatikan kapal-kapal tanker yang melaju pelan. Pikiran gue menerawang dan bersyukur, setelah 22 tahun hidup, akhirnya gue bisa menginjakkan kaki di tanah tempat Ibunda terlahir.
Pulau Tukung |
Mentari di atas pulau |
Kapal tanker melaju santai |
Sebuah celah di Pulau Tukung |
Terlalu asyik bersantai, gue jadi lupa waktu, setelah gue perhatikan lagi, PANTAINYA ILANG!! ternyata gue ngga sadar kalo jam 3 ke atas, pantai udah mulai pasang. Dengan panik gue segera menggulung celana gue dan kelimpungan nyari daerah yang masih cetek tergenangnya. Untunglah masih ada satu bagian yang baru terendam selutut, akhirnya gue ngga jadi terdampar di pulau tanpa penghuni. Setelah puas dan dengan celana sedikit basah, maka pulanglah gue dan Feby.
PANTAINYA ILAAAAAAAAANG!! |
Keesokan harinya adalah hari terakhir gue di Balikpapan, karena lusa gue akan kembali pulang ke Jakarta. Hari terakhir ini gue manfaatkan dengan jalan-jalan sore sama temen-temen SMA-nya si Feby. Kita jalan naik mobil temennya Feby, namanya Aldy, melihat penampilan gue yang ajaib ini, dimulailah pembicaraan yang menarik..
"Suka hal-hal mistis bang?" tanya Aldy.
"Lumayan, emang kerjaan gue kayak gitu.." Jawab gue dengan santai.
"Beneran bang?"
"Bener.. gue emang bisnis rumah hantu dan punya komunitas pecinta horor di Jakarta.." lalu gue menjelaskan sedikit tentang pekerjaan gue yang sebagai Halloween Organizer, dan memang bergerak di bidang pembuatan rumah hantu untuk event-event ini.
Singkat cerita, Aldy menangkap bahwa gue memang pakarnya mistis dan horor, padahal ya ngga gitu juga, tapi biarlah, seru juga dibilang pawang setan, hehehehehe.. Nah, ternyata, Aldy kemudian mengajak teman-temannya yang lain untuk ikutan jalan. Tau ngga ke mana tujuannya? Jembatan Gantung dan Rumah Pembantaian di gunung Dubs.
Iya, kalian ngga salah baca, Jembatan Gantung dan Rumah Pembantaian. Dua tempat itu adalah tempat angker yang cukup legendaris di Balikpapan, bahkan, Tukul Arwana pernah meliput rumah ini dalam suatu acaranya. Jembatan Gantung adalah jembatan tua dengan rangka besi yang beberapa platformnya udah bolong-bolong, dan Rumah Pembantaian adalah rumah tua yang dulu ditinggali oleh keluarga Belanda, kemudian rumah itu dirampok dan semua anggota keluarganya dibunuh, dan jadilah rumah itu rumah angker, cerita umum yang bisa ditemui di mana-mana sebenernya. Yang bikin tambah serem adalah dua tempat tersebut dikelilingi vegetasi padat alias hutan..
Sebenernya sih gue yang ngajak mereka ke sana, abisnya gue penasaran sama cerita tentang dua tempat itu, dan menurut gue cukup berguna juga kalo gue ke sana, kan bisa ada referensi tempat-tempat angker dari luar Jawa untuk bahan sharing dan diskusi di Komunitas Pecinta Horor gue. Perhentian pertama adalah Jembatan Gantung, di sana suasana bener-bener gelap, bener-bener pitch black! Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu mobil dan senter yang udah sakaratul maut. Selama beberapa lama kita liat-liat keadaan di sana sampe akhirnya salah seorang temennya Feby mulai ngerasa ngga enak. "Kayaknya gue liat sesuatu deh, denger suara bayi ngga?" katanya sambil nunjuk ke ujung jembatan. Karena gelap, jelas ngga bisa liat apa-apa, dan belum tentu juga ada "sesuatu" di ujung jembatan, tapi omongannya yang kayak gitu udah cukup buat bikin kita buru-buru ngacir ke dalem mobil dan menuju tempat pemberhentian kedua.
Pemberhentian kedua ini adalah Rumah pembantaian. Awalnya gue bingung pas nyampe sana, kita berhenti di sebuah jalan yang ujungnya mengarah ke hutan, a dead end. Mana rumahnya? sama sekali engga ada. Ternyata rumahnya ada di balik hutan tersebut, jalan sekitar 50 meter atau lebih menembus hutan. Tadinya sih bukan hutan, tapi sejak kejadian pembunuhan itu, wilayah rumah tersebut jadi ngga ada yang ngurus, dan akhirnya tak terawat sehingga tumbuhan liar tumbuh dengan bebas dan membentuk hutan. Gue menelan ludah, hutan yang bener-bener padat dengan pohon-pohon besar, ditambah kisah misteri dan kejadian mistis yang banyak terjadi di Kalimantan. damn.. I don't need this.. Gue terlalu takabur kayaknya dengan mengatakan "Kita harus masuk dong ke rumahnya, udah jauh-jauh ke sini nih! Tenang aja, ngga bakalan ada apa-apa", tapi karena keburu gengsi, yaudah, kita perlahan nembus hutan.. belom ada 10 meter perasaan gue udah ngga enak, dan ada suara gemerisik semak di kejauhan. Oke, suara itu ditambah perasaan aneh yang dirasain cukup menjadi alasan untuk tidak melanjutkan perjalanan, and I'm sure that there's something watching us! Akhirnya kita lari dan balik ke mobil, ngos-ngosan sebentar, cengengesan dan.. pulang..
4 Agustus 2012
HARI ini, akhirnya gue harus pulang, kembali ke Jakarta. Agak berat rasanya meninggalkan tempat hebat ini, tapi karena gue harus menghadiri workshop dan bertugas sebagai kurir untuk mengirimkan seluruh data video hasil syuting di Kalimantan ke kantor, I have no choice. Gue naik pesawat Lion Air dengan keberangkatan jam 19.00 WITA, dengan estimasi waktu kedatangan sekitar pukul 20.00 WIB.
4 Agustus 2012
HARI ini, akhirnya gue harus pulang, kembali ke Jakarta. Agak berat rasanya meninggalkan tempat hebat ini, tapi karena gue harus menghadiri workshop dan bertugas sebagai kurir untuk mengirimkan seluruh data video hasil syuting di Kalimantan ke kantor, I have no choice. Gue naik pesawat Lion Air dengan keberangkatan jam 19.00 WITA, dengan estimasi waktu kedatangan sekitar pukul 20.00 WIB.
Sambil santai, gue mengepak barang-barang gue. Memasukkan beberapa pernak-pernik yang gue beli untuk oleh-oleh ke dalam tas, perlahan-lahan menikmati jam-jam terakhir gue di Zamrud Khatulistiwa ini. Sambil nunggu om gue siap dengan mobilnya untuk nganterin gue ke bandara, gue duduk di teras sambil memandang ke arah bukit. Tidak ada minuman hangat atau cemilan yang menemani gue pada saat itu, tapi apa yang disajikan oleh alam sudah cukup memuaskan hati gue. Gue menikmati setiap detiknya, setiap embusan angin yang membawa aroma hutan, jauh di pedalaman, yang menyampaikan salam dari seluruh penghuninya, memastikan gue akan kembali lagi ke pulau tercinta ini, dan meyakinkan bahwa saat gue kembali, gue akan menengok mereka di tengah habitat aslinya.
Beberapa jam kemudian, gue udah duduk di kursi dalam kabin pesawat, di samping jendela. Tanda untuk mengenakan seat belt sudah menyala, terdengar pengumuman dari cabin attendant dan sang kapten pesawat, pesawat sudah siap take off.
Perlahan, kecepatan pesawat semakin meningkat, dan mulai mendongak. Lampu cahaya kota Balikpapan mengiringi kepulangan gue. Roda pesawat sudah masuk, kerlip cahaya kota perlahan menjauh hingga akhirnya tertutup awan. Sayup-sayup terdengar lagi suara musik Sape' yang merdu. Masih tidak percaya, bahwa gue baru saja berada di tempat Ibunda terlahir, melengkapi "setengah jiwa" yang sampai seminggu lalu belum gue temukan.
Kalimantan, kini aku utuh.